Senin, 20 Juni 2011

hubungan manusia dengan agama

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Semakin hari memang semakin rumit mengartikan masalah hubungan, kata hubungan yang senyatanya hari ini banyak varian bila kata hubungan di kolaborasikan dengan kata lain, misal hubungan keluarga maka otomatis definisi yang dimunculkan sangatlah beragam, namun kali ini kita akan membatasi kata hubungan dengan mengkolaborasikan hubungan Manusia dengan Agama tentunya pembahsan ini adalah membahas seputar bagaimana hubungan (konteks) manusia dengan agama. Secara harfiyah manusia adalah makhluk ciptaan. Dan agama adalah a-tidak dan gama-tidak kacau, artinya semua hal yang bersentuhan dengan agama adalah adanya sebuah keharmonisan yang sangat indah dan tidak ada hal yang rancu baik bagi tuhan (Allah.SWT), alam, dan manusia.
Kemudian yang menjadi pertanyaan hari ini bagaimana hubungan yang seyogyanya antara manusia yang telah diberikan mandat langsung oleh tuhanNYA untuk mengatur alam tempat tinggal manusia yang sama-sama diciptakan Tuhan. Dengan agama yaitu suatu kepercayaan pada tuhan dari hati sanubari manusia. Tentu hal ini sangat perlu untuk dibahas, melihat kontroversi manusia jaman kiwari telah banyak keluar dari aturan-aturan yang dapat membawanya kedalam positive immortal yaitu Jannahnya Allah.
Dimulai dari Adam a.s yang telah memulai kehidupan hingga jaman sekarang yang kembali sama dengan kaum jahiliyah seperti pra-sejarah Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kata agama seakan tak henti-henti dikumandangkan harmoni for a beter future bagi penerus-penerus pemimpin kehidupan manusia didunia.
Agama yang ditugaskan di dalamnya adalah untuk mengatur kehidupan manusia, dan aturan-aturan itu tertera dari sebuah buku-buku klasikal namun mempunyai keampuhan dalam aturan yang saklek atau pasti menurut pemeluk kepercayaan itu sendiri. Misal dalam agama islam dengan kitab Al-Qur’an yang telah dan sampai saat ini mengatur kehidupan manusia hingga saat ini terus menerus selalu di jadikan rujukan karena keotentikan dan rasionalisasinya dalam membawa manusia ke kehidupan yang abdi dan sejahtera, damai, dan menuju ma’rifatullah.
B.     Rumusan masalah
Sesuai dengan tujuan pembahasan di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya ialah :
*      Apakah yang dimaksud dengan Hubungan manusia dengan agama?
*      Bagaimanakah hubungan manusia dengan agama?
*      Apa yang urgensi dari hubungan manusia dengan agama?
*      Bagaimanakah manusia yang beragama ?

C.     Tujuan penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah diantarannya :
*      Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah psikologi agama.
*      Mengetahui definisi, urgensi dan manfaat hubungan manusia dengan agama.
*      Dapat terus menerus memanfaatkan manfaat anugrah Allah SWT.















BAB II
Hubungan Manusia dan Agama
A.          manusia
manusia adalah makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang: sbg biasa, ia bisa juga khilaf; dan tugas manusia adalah beribadah serta menjadi pemimpin, hal ini tertera dengan pendekatan secara islami, karena berlandasakan aturan dah hukum yang telah ada dalam kitabnya yaitu Al-quran. Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan Ibnu'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan) asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku”
(QS. 15: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakandari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalamdirinya yang selalu mempergunakan tugasnya. Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb).
1.      RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci. Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya. Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insane (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya. Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah,
"Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya:
"Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan,
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah langsung masuk surga. Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan,
 "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
2.      AKAL
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) didada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi akal perolehan (akal mustafad) ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (Jannah). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka). Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ketingkat akal perolehan.
3.      HATI SUKMA (QALB)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak didada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman,
"Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya." (QS. 7:1-79).
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma'rifat suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas. Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya,
 "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah Swt. Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi. Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.
B.   Agama
          Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Berdasarkan cara beragamanya :
  1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
  2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
  3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
  4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
C.          Hubungan Manusia dengan Agama
1.  Latar Belakang Fitrah Manusia
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buat pertama kali ditergaskan dalam ajaran Islam. Yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitrah manusia sebelumnya. Manusia belum mengenal kenyataaan ini. Baru masa ini, muncul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya dalam keagamaan yang ada dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangnya perlunya manusia pada agama.oleh karenanya ketika datang wahyu tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang pukulan dengan fitrahnya itu, dalam konteks ini minsalnya membacakan yang berbunyi.
ﺎﻬﻳﻠﻋﺲﺎﻧﻟﺍﺮﻄﻓﻰﺗﻟﺍﻪﻟﻟﺍﺓﺭﻄﻓﺎﻳﻧﺣﻦﻳﺪﻠﻠﻚﻬﺠﻭﻢﻗﺄﻓ
Artinya : “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dngan fitrah itu”. (QS.Al-Rum : 30).
Adanya potensi fitarah agama yang terdapat pada manusia tersebut dafat pua dianalisis melalui istilah Ihsan yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukan manusia. Mengacu kepada informasi yang diberikan Al-Qur’an, Musa Asy’ari sampai pada suatu kesimpulan, bahwa manusia Ihsan adalah manusia yang menerima pelajaran dari tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya.
Melalui uraian tersebut diatas dapat kita simpulkan bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi beragama ini memerlukan pembinaan, pengarahan, dan seterusnya dengan mengenal agama kepadanya.
Hal ini tentunya sesuia dengan teori Rasionalitas yang di paparkan oleh Henry Nelson Wieman “Bahwa setiap penghayatan manusia terhadap dunia luar akan melahirkan dua pengalaman yang saling bertentangan, yaitu pengalaman Rasionalis dan religious, sehingga segala pengalaman manusia dalam kehidupannya akan melahirkan dua tuntutan pemahaman. ”
2.  Kelemahan Dan Kekurangan Manusia.
Faktor lain yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagi kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara lain digunakan oleh kata Al-Nafs menurut Quraish Shihab. Bahwa dalam pandangan Al-Qur’an Nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatia lebih besar. Kita minsalnya membacakan ayat yang berbunyi.
ﺎﻫﻭﻗﺗﻮﺎﻫﺮﻮﺠﻓ ﺎﻬﻣﻬﻟﺎﻓ    ﺎﻫﻭﺴﺎﻣﻮ ﺲﻓﻧﻮ
Artinya : “Demi nafs serta demi penyempurna ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketaqwaan”.(QS.Al-Syams : 78)
            Dari pemaparan di atas beiringan dengan teori Trasendental C.G Jung. Yaitu Bersumber pada pengamatan manusia pada dirinya sendiri. Santo Agustinus dengan Teori mistiknya mengatakan bahwa Mengarahkan perhatinnya pada sesuatu yang supranatural.
Hadits yang memperkuat argument tersebut adalah :
“Kuntu Kazan Makhfiyyan fa ahbabtu ‘an u’raf fa khalaqa li kayu’raf”
Artinya :
Aku adalah khazanah (Dzat) yang tersmbunyi dan aku ingin diketahui. Oleh karena itu, aku lalu menciptakan makhluk agar aku bisa di ketahui.
Dalam Firman Allah, Allah Berfirman :
Yang Artinya :
“akan kami perlihatkan kepada mereka dalil-dalil kekuasaan kami disegenap penjuru alam dan pada dirinya sendiri sehingga jelas bagi mereka bahwa yang kami wahyukan itu (Al-Quran) adalah benar. Tidak cukupkah bahwa Rabbmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
Kemudian ada hadits yang mengatakan, “Man arafa nafsahu, a’rofa Rabbahu” Artinya: barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Rabbnya.
Sehingga munculah berbagai Type hubungan diantaranya adalah:
A.    Tipe Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas)
ü  Fase penghayatan gejala alam : - keterikatan atau keterlibatan dengan alam, - mengahayati seluruh gejala alam sehingga mendatangkan pengalaman.
ü  Fase pertemuan dengan yang Mha Kuasa : - pengahayatan terhadap gejala alam akan dijadikan akibat dari adanya sebab Yang Maha Kuasa.
ü  Fase mengembangkan Hubungan : - adanya pemikiran untuk lebih jauh memahami sesuatu yang diangga maha kuasa, sehingga melahirkan bentuk ppengabdian tertentu.
ü  Fase hubungan yang situasional : - Keyakinan ditetukan oleh situasi lingkungan.
B.     Tipe Hubungan Atas Bawah
ü  Merupakan kristalisasi imajinasi kemanusiaan orang yang beragama dalam melaksanakan hubunganya denganTuhan adalah keterikatan terhadap kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk yang ada di bawah yang seba tergantung kepada Khalik yang ada di atas.
ü  Adanya kesadaran bahwa manusia adalah makhluk lemah ,mempunyia keterbatsan sedangka Tuhan adalah sesuatu yang maha Kuasa.
ü  Hal ini terlihat dalam berbagai ekspresi bentuk peribadatan orang yang eragama.
C.    Tipe Hubungan Fungsional
ü  Kehidupan manusia yang berkaitan erat dengan hadirnya berbagai unsur pengalaman hidup yang berakar pada ketidak pastian, ketidak berdayaan
ü  Adanya hambatan pencapaian kebutuhan-kebuthan dalam diri manusia
ü  Enam hirarki kebutuhan Abrhama Maslow:
-          Kebuthan dasar (makanan, air, udara,dll.)
-          Kebutuhan Biologis (seksual, kesenangan, kegiatan, dll)
-          Kebutuhan rasa nyaman
-          Kebutuhan kasih saying (Cinta, kedekatan dengan orang lain, dll)
-          Kebutuhan akan harga diri
-          Kebutuhan aktualisasi diri.
          Berbagai Tipe di atas tentunya adalah hasil dari berbgai pendekatan yang dilakukan oleh masing-masing individual atau suatu kelompok, bebagai pendekatan bisa dilakuka, dari mulai pendekatan Theologis, Sosial, filosofis, budaya, normatif, dll. Sehingga manusia dapat dengan pasti mengetahui akan Hubungannya dengan agama selaku aturan dari sang kahliq.
Intinya adalah bahwa manusia sebagaimanapun dia menolak tentang Agama, namun dalam hatinya pasti terbesit kata Agama. Tidak pernah ada masyarakat yang tanpa Agama (Henri Bergsons; 1958). Tidak pernah ada kebudayaan dimasa lampau, sebagaimana tidak aka nada kebudayaan masnusia dimasa datag yang tidak memiliki agama (Erich Fromm; 1976)










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Akhirnya adalah manusia yang senyatanya adalah makhluk yang dilahirkan secara fitrah tanpa pengetahuan apa-apa ketika di bumi perlu proses pengingatan kembali dengan aturan-aturan yang diatur oleh dzat yang abadi sebagai penciptanya, dari hal tersebut jelas bahwa aturannya itu adalah agama yang saat ini, kemarin, beberapa abad silam, bahkan sebelum manusia hadir agama telah muncul sebagai prose dari keinginan hati kecil manusia yang ingin di atur, missal ketika sebelum Indonesia mensyahkan enam agama untuk dijaikan agama yang syah menurut hukum pemerintah, telah Nampak hadir kepercayaan aliran kaum-kaum setmpat seperti Sunda wiwitan di Jawa Barat, Kejawen di Jawa timur ini dll, ini semua adalah kreatifitas manusia yang seyogyanya perlu pengaturan dan ingin di atur oleh yang lebih atas darinya. Maka dari itu jelas kiranya hingga sekarang manusia erat hubunanya dengan kata agama/kepercayaan.
Dan hal ini juga di lihat dari berbagai pendekatan, mulai dari pendekatan secara historisitas, filosifis, budaya, dll. Dan literature yang di bangun dalam khazanah keislaman yang telah menjadi focus kelompok kami, maka islam sebagai agama kami harus di implementasikan kepada kehidupan sebagai cirri dari adanya hubungan manusia dengan agama. Seperti yang menjadi kepercayaan kami Hablum minannas, hablum  minallah, dan hablum minal a’lam.









DAFTAR PUSTAKA
-          Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1978.
-          Referensi Dosen Psikologi Agama
-          www.google.com


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar